09 Februari, 2014

SEBELAS PINTU DOSA vs NILAI RAPOR SEKOLAH

Astaghfirullahalaziem..........ampuni aku hambaMU yang "jauh dari kesempurnaanMU" ya Allah. Sabtu subuh, saya memperoleh peringatan dari hamba Allah yang lain melalui wasilah, bersama jemaah lain yang intinya meminta maaf. Berbicara tentang “maaf” Saya lalu teringat dengan pojok kiri Koran SINDO dua hari yang lalu dengan pesan simpatik kira-kira seperti ini “pemberian maaf memang tidak akan mengubah apapun tentang masa lalu, akan tetapi setidaknya akan berpengaruh besar terhadap masa depan”. Diterangkan oleh penceramah di forum Subuh-an tersebut, bahwa tiada seorang manusiapun yang luput dari dosa, kekhilafan dan kealpaan, kecuali hamba Allah yang maksum, karena kehendak Allah untuk menjaga dari "dosa", seperti halnya Rosulullah. Oleh karenanya hanya dengan beristighfar dan menjalankan kehidupan yang "bermanfaat bagi diri sendiri serta hamba Tuhan yang lain" (menjalankan Shahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan ber Haji bagi seorang muslim/muslimah) maka kita boleh berharap "sedikit", Allah akan mengampuni kita. Sedangkan yang "banyak" adalah otoritas Allah dengan segala keMahaKuasaNya serta keMaha PengasihSayangNya.

Semula saya agak terkejut saat sang ustadz menyampaikan peringatan mengapa wirid istighfarnya diajarkan minimal 11 kali?, alasannya karena minimal kita melakukan "dosa" melalui 11 pintu masuk, yaitu; 2 mata, 2 lubang hidung, 1 mulut, 2 telinga, 2 tangan dan 2 kaki. Secara harfiah memang itulah lubang-lubang masuknya impuls pandangan, pendengaran serta keluarnya ucapan dan cengkeraman jemari serta langkah kaki yang dapat berkontribusi menentukan dosa tidaknya kita.Orang Betawi bilang "ngeliat" (tidak sengaja) pada sesuatu objek pandangan yang diharamkan tidaklah dosa, namun kalau "ngliatin" (dengan sengaja) pada suatu objek yang di haramkan tentulah itu suatu perbuatan dosa. Demikian pula "mendengar" belum tentu dosa, namun kalau sengaja mendengarkan sesuatu "ghibah/ kejelekan dan menjelek-jelekan orang lain" seperti ngrumpi, hal itu tidak ubahnya seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Ini adalah tuntutan agama, yang hampir semua ichwan saya sesama muslim/muslimah harusnya tahu. Saya semakin tertunduk lesu, mengingat 11 pintu perbuatan dosa secara harfiah yang melekat dan dititipkan oleh pemilikNya ada di tubuh saya. Walaupun saya juga sadar betul bahwa 11 pintu penyebab dosa itu hanyalah alat atau indera yang secara motorik tunduk serta patuh kepada perintah yang berasal dari kumpulan syaraf pusat yang namanya cerebrum dan cerebellum (otak besar dan otak kecil). Jadi sebenarnya kesebelas pintu dosa di atas bisa menolak seluruh keterlibatan "kong kalikong" perbuatan dosa, mengingat organ indera tersebut hanyalah menjalankan perintah. Namun saat otak diperiksa “jaksa penuntut” di akherat, untuk mempertanggung jawabkan segala dosa yang diperbuat, maka otakpun dapat ingkar, dengan alasan sekedar menyimpan impuls "kemauan" untuk kemudian direflesikan ke panca indera menjadi produk perbuatan. Lalu pertanyaan berikutnya, siapa yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan dosa itu?. Saat otak dan ke 11 pintu dosa duduk untuk menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), maka muncullah kesaksian baru bahwa sang dalang yang menggagas dan mendesain rencana besar perbuatan dosa tersebut adalah Qalbu. Malam Jum'at yang lalu saya sudah minta informasi kepada pak ustadz yang lain, untuk mengklarifikasi nama lain dari Qalbu itu, dan jawabannya adalah hati. Tapi hati yang dimaksud ini bukanlah hati dalam pengertian anatomis organ Hepar, apalagi saat kita merasakan sakit hati karena suatu peristiwa, lalu kita pegang dan atau elus-elus bagian depan dada, sambil berbicara "sakit deh hatiku!". Padahal yang kita pegang adalah jantung kita yang sedang berdebar-debar saat memperoleh rangsang dari luar yang menimbulkan kenaikan rithmis pacuan denyut jantung.Itu sebabnya "akal" yang dimaksud sebagai syarat seseorang hamba Allah menjalankan agama bukanlah sekedar otak sebagai pusat pikiran, akan tetapi juga Qalbu sebagai pelaku utama yang merencana (membuat dan mengambil keputusan) untuk memproduk suatu perbuatan, bahkan akan menjadi suatu kebiasaan. Nah dosa tidaknya perbuatan yang diproduk tersebut, harus dibandingkan dengan standar perbuatan (benchmark standardize) yang ada di dalam pedoman (Al Qur'an), tuntunan agama (Hadist Nabi) dan atau standar perilaku sosial kemasyarakatan (Sopan santun, adat istiadat) yang dijalani bersama.
Sayang,..........mulai semester ganjil tahun pelajaran 2007/2008 ini, nilai hasil belajar peserta didik (NILAI RAPOR) di sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah hampir di seantero tanah air, tidak lagi mencantumkan nilai hasil kinerja "qolbu" yang sering kita sebut sebagai afeksi (seperti kejujuran, kelakuan, kerajinan, kesetiakawanan, empaty, simpaty dll), karena sudah dijadikan satu (melalui cara menjumlah dan merata-rata) dengan nilai kinerja otak yang sering kita sebut sebagai kognisi dan keterampilan kinestikal 11 pintu dosa. Pembenarannya nilai ketiga aspek (kognitif, psikomorik dan afeksi) cukup ada di dokumen Gurunya saja, sedangkan di dalam Laporan Hasil Belajar (Rapor) peserta didik cukup satu nilai hasil perhitungan reratanya). Astaga!, bagaimana ceritanya afeksi dirata-rata dengan kognisi dan psikomorik?. Barangkali inilah yang disebut dengan korban peribahasa yang sering diajarkan guru Bahasa Indonesia kita dulu, bahwa "rajin itu pangkal pandai", walaupun kenyataannya berbeda, karena Allah sudah menciptakan kepandaian seseorang hambaNya, jauh sebelum peserta didik bersangkutan bersekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak anak pandai bukan karena rajinnya saja, seperti halnya banyak pula anak yang rajin tapi tidak pernah pandai (sesuai ukuran normatif tingkat kecerdasan psikologis/IQ), karena memang hanya Allah yang Maha Tahu tentang kebaikan dibalik kondisi setiap hamba ciptaanNya.
Semoga penutup tulisan ini tidak diplesetkan dengan ungkapan bahwa penulis melakukan aktivitas "pendidikan paradoks- kontraproduktif", namun memang itulah yang terjadi dan bisa diungkapkan berdasar pemahaman "keterbatasan pikiran manusiawi". Perbedaan bukanlah untuk diperdebatkan tanpa makna dan solusi tindak lanjut untuk menjadikan sesuatu berproses lebih baik, karena hakekat perbedaan adalah "rahmat" serta keabadian, dan kita semestinya mensyukurinya!. Perdebatan ilmiah yang muncul sebagai respon dan tanggapan dari masalah ini, justru akan memperkaya khasanah serta wacana kita, agar segera dapat diSEMINAR-kan oleh Pengurus Pusat atau Wilayah IKA UT Jakarta.
Subhanallah, Allah Maha Tahu.

.

Jakarta, medio Februari 2008, Darsana Setiawan.