Sistem Pendidikan Indonesia sedang berproses menuju cara pandang baru (New Paradigm) yang lebih humanis (dengan mengedepankan hak-hak pembelajar) serta lebih demokratis, namun sekaligus juga lebih berorientasi pada perkembangan ICT (Information-Communication and Technologie). Soedjatmoko, sebagai tokoh Humanitarianisme, dalam S.Masruri (2005), mengungkapkan ; perlunya kita semua menghindari ekses moral dari tekanan ICT yang hampir tak terkendali, dengan cara melibatkan banyak pihak yang peduli (kaum agamawan dan kaum budayawan) untuk secara bersama membangun sistem pendidikan yang didinginkan.
Melalui sistem pendidikan yang seperti itu diharapkan manusia dan masyarakat Indonesia terdidik, akan menjadi manusia yang “serba tahu” (well informmed) , memiliki komitmen yang tinggi (well commited), yang mampu menerapkan long life learning disertai kesadaran yang tinggi tentang keadilan sosial.Untuk mewujudkan upaya pembaharuan sistem pendidikan yang humanis, menuntut berbagai pendekatan inovatif untuk memperluas proses belajar yang mampu menembus “tembok besar konvensional”. Patut disayangkan bahwa dari beberapa dekade pembangunan pendidikan kita di tanah air, “kekurangan” (kalau tidak mau disebut kegagalan) justru terletak pada ketidakpercayaan masyarakat itu sendiri untuk ikut berpartisipasi dalam program dimaksud. Contoh kasus sebagai indikasi adanya bukti terhadap hal ini ditayangkan oleh media televisi kita di minggu kedua bulan Desember 2007, “adanya sekelompok masyarakat yang secara bersama dan beramai-ramai merusak gedung sekolah” dan notabene gedung sekolah tersebut justru dibangun dari dana masyarakat itu sendiri (APBD). Mereka seolah tak merasa ikut memiliki proses pendidikan yang berlangsung (sense of belonging), padahal bukan tidak mungkin anak-anak mereka sendiri ada yang menjadi peserta didik dari sekolah yang dirusaknya. Tantangan dari proses belajar masyarakat terhadap “perubahan” dapat ditengarai antara lain “tertutupnya kesediaan diri untuk menerima perubahan” (tidak munculnya hasrat untuk berubah), rendahnya komitmen terhadap adanya perubahan, serta rendahnya keterlibatan masyarakat terhadap program perubahan (sense of responsibility). Oleh karenanya proses belajar sosial kemasyarakatan yang harus diprioritaskan sebagai WAJAH BARU KEBIJAKAN PENDIDIKAN KITA adalah kebijakan publik yang mengedepankan INOVASI SOSIAL dan PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, sehingga menemukan hal-hal baru bagi upaya nyata KELUAR DARI JEPITAN KEMISKINAN. Patut dicermati pemikiran yang mencerdasi dan mengkritisi masalah ini, dengan pernyataan bahwa “salah satu ciri utama dari model pembangunan pada beberapa dekade terakhir adalah BERKEMBANGNYA KEYAKINAN DIRI DARI MEREKA YANG SECARA TRADISIONAL TIDAK BERDAYA DAN TERSINGKIR KARENA PROSES PERUBAHAN (PEMBANGUNAN) ITU SENDIRI. Mengapa demikian, karena “semua upaya perubahan (pembangunan) tidak akan membawa manfaat jangka panjang TANPA PEMECAHAN MASALAH KEMISKINAN ITU SENDIRI”. Ini mungkin simpul-simpul akhir dari esensi pendidikan humanis, yang berupaya memberdayakan manusia secara manusiawi agar menjadi manusia sesungguhnya (seutuhnya), karena pastilah Tuhan tidak menciptakan hambaNya untuk teraniaya, apalagi oleh suatu sistem terstruktur yang dibuat oleh hambaNya yang lain. Kita memang membutuhkan suatu sistem pendidikan yang berpihak pada kebutuhan kemanusiaan, yaitu manusia berdaya. Manusia yang mampu melawan segala upaya yang memperdaya dirinya dari kesejahteraan sosial, kesejahteraan moral dan kesejahteraan spiritualnya.
Dengan “bersama” semoga harapan kemanusiaan tersebut, bukanlah utopia!.Bukankah Tuhan Maha Tahu atas keinginan hambaNya?.
Jakarta, bulan akhir tahun 2007. Salam saya DS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar